Rabu, 22 Juni 2011

Masa Depan Pendidikan Seni Rupa di Indonesia

Seni rupa merupakan salah satu cabang kesenian yang memiliki klasifikasi wujud dalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi. Seni rupa telah mengakar mulai zaman animisme dan dinamisme hingga jaman melenium, juga menjadi salah satu bagian cabang seni yang secara performatif mempresentasikan wujud yang kasat mata. Pendidikan seni rupa adalah proses mendidik dalam merepresentasi bentuk seni rupa secara nyata melalui media sebagai dasar perwujudan rupa.
Di era modern yang serba instan ini, pendidikan bertransformasi menjadi salah satu landasan utama dalam aspek kehidupan yang kedepannya diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, mempersiapkan tenaga kerja yang trampil dan ahli agar dapat membina dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Untuk mewujudkan pendidik profesional yang mampu mengatasi tantangan-tantangan dan mampu berinovasi dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan formal seni rupa di Indonesia dimulai pada tahun 1950, di Yogyakarta berdiri ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang sekarang namanya menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) yang dipelopori oleh RJ. Katamsi, kemudian di Bandung berdiri Perguruan Tinggi Guru Gambar (sekarang menjadi Jurusan Seni Rupa ITB) yang dipelopori oleh Prof. Syafe Sumarja. Selanjutnya LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) sekarang dikenal dengan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) disusul dengan jurusan – jurusan di setiap IKIP Negeri salah satunya adalah Universitas Negeri Yogyakarta.
Dalam pendidikan maupun dunia kerja, seni rupa menjadi salah satu profesi yang mampu bersaing pada masa yang akan datang.. Kompetensi dasar yang harus dicapai bidang seni rupa meliputi kemampuan memahami dan berkarya lukis, kemampuan memahami dan membuat patung, kemampuan memahami dan berkarya grafis ,kemampuan memahami dan membuat kerajinan tangan, serta kemampuan memahami dan berkarya atau membuat sarana multimedia. Cabang seni rupa yang beraneka ragam dengan keahlian dan tingkat kesulitan masing-masing adalah keahlian utama yang harus dimiliki sang perupa ataupun pendidik dalam seni rupa.

Belakangan ini yang banyak dibicarakan dalam dunia pasar seni rupa adalah lukisan kontemporer China. Karya-karya dari perupa China mampu membuat semua mata tertuju pada mereka dan menjadi perbincangan utama keseni rupaan dunia. Julukan Booming Seni Lukis China pun mereka sandang atas hasil kerja keras dan kedisiplinan yang selama ini mereka lakukan. Bahkan mereka mampu membuat pasar seni rupa dunia kalangkabut dengan harga lukisan yang terus-menerus mengalami peningkatan yang mengejutkan, meningkat puluhan kali dari harga sebelumnya.
Tidak mau kalah dengan China, beberapa nama seniman Indonesia juga mulai diperbincangkan di dunia pasar seperti Agus Suwage, Putu Sutawijaya, Rudi Mantofani, Yunizar, Handiwirman Saputra, Budi Kustarto, Pupuk DP, Jumaldi Alfi, Nyoman Masriadi, dan Agapetus. Mereka berinovasi agar karya-karyanya mampu mendapat perhatian dan mudah terjual.
Fenomena seperti itu mendorong galeri-galeri semakin sibuk menawarkan agenda pameran bagi karya-karya mereka. Begitu juga para pemburu lukisan tidak kalah sibuk mendapatkan karya mereka untuk dijadikan ikon di lelang. Tentu saja ini membuat para senimannya berlimpahan materi.
Di saat dunia pasar memamerkan pundi-pundi kapitalnya, dunia pendidikan seni rupa justru tengah ngos-ngosan mempertahankan eksistensinya. Banyak lembaga formal maupun non-formal yang mempunyai jurusan seni rupa mulai rewel karena kurangnya dana untuk praktikum dikarenakan peminat yang semakin merosot tajam. Dari sini bisa dilihat bagaimana jomplangnya dunia pasar seni yang berlimpah ruah materi dan dunia pendidikan seni yang kebingungan mencari pemasukan dana.
Beberapa faktor yang sering disebut-sebut menjadi kendala utama dalam pendidikan seni rupa antara lain adalah :

  1. Kurangnya kemampuan professional

Dua faktor yang mempengaruhi profesionalitas pendidik yaitu faktor diri sendiri/ pribadi (internal) yang meliputi minat dan bakat. Lulusan muda yang menjadi pendidik namun melenceng jauh dari jalur semula, yang lebih parah lagi adalah ketidaksiapan pendidik dalam bidangnya. Bisa disebabkan karena belum siapnya menghadapi dunia pendidikan dan kurangnya ilmu yang didapatkan.
Lingkungan sekitar, sarana prasarana yang tidak memadai menjadi faktor eksternal yang berdampak fatal pada peserta didik dan menyebabkan mengakarnya keprofesionalan seorang pendidik.
Untuk mengatasi hal tersebut pendidik harus mau dan mampu menerapkan metode pengajaran yang baik, mudah dipahami serta menjadikan diri sendiri sebagai kawan, konsultan dan fasilitator. Karena dalam seni rupa peserta didik diharapkan dapat mengembangkan imajinasi dengan bebas namun tetap pada kedisiplinan waktu.
Pendidik juga bisa mengajak peserta didik untuk berkarya bersama sambil mempertahankan keeksistensiannya dalam menciptakan karya-karya baru yang lebih segar tentunya.

  1. Kurangnya minat masyarakat

Saat seorang anak memasuki usia dini mereka mampu merekam apa saja yang mereka lihat, tentunya hal ini berpengaruh pada sistem kerja otak sang anak. Sebenarnya semua yang dilihat sang anak adalah unsur-unsur seni rupa seperti garis, warna, bidang, ritme, balance dan yang lainnya. Namun kebanyakan orang tua menganggap pelajaran seni rupa bukanlah pelajaran yang penting, apalagi ditinjau dari segi ekonomisnya.
Hal ini jelas mengakibatkan seorang anak enggan untuk mempelajari tentang seni yang akan berpengaruh pada kehidupannya mendatang. Jika banyak orang tua yang berfikiran seprti ini maka banyak pula generasi muda yang diciptakan tanpa kepekaan seni yang tidak mereka miliki.
Pada akhirnya mengakibatkan anjloknya minat belajar masyarakat muda dalam hal seni rupa yang nantinya akan berpengaruh besar pada dunia pendidikan seni rupa di Indonesia. Walaupun tanpa kita sadari minat perupa terhadap wacana seni rupa juga masih acuh tak acuh. Banyak perupa yang beranggapan bahwa wacana dan tulisan tentang seni rupa mereka serahkan pada kritikus dan tugas mereka hanyalah berkarya. Sempitnya pemikiran ini mengakibatkan tidak berkembangnya seni rupa Indonesia dalam linkup seniman itu sendiri karena tidak adanya latar pendidikan yang mendasari karya seni yang diciptakannya.

  1. Kurangnya bahan refrensi dalam lingkup perpustakaan dan media cetak

Beberapa media cetak seni rupa mengeluhkan keterbatasan dana yang dimiliki mengancam mereka dalam kebangkrutan dikarenakan sedikitnya penelitian tentang seni di Indonesia dan dengan jawaban sama para peneliti senipun melakukan hal tersebut karena mereka dibayang-bayangi ciutnya dana. Pada kenyataannya hal ini berbanding terbalik dengan suksesnya penjualan karya di pasar dunia. Apalagi kurangnya minat pembaca di perpustakaan mengakibatkan tidak adanya masukan positif dan inovasi baru untuk jurnalistik Indonesia.

  1. Kritikan yang disalah artikan

Dalam seni rupa ada yang disebut dengan curator atau pengamat seni. Tugas curator adalah mengamati sebuah karya dari unsur, tekhnik dan aliran sang perupa. Barulah setelah itu dia bias menanggapi sebuah karya dengan positif. Namun kembali lagi kebiasaan masyarakat Indonesia yang mau mengkritik tanpa mau dikritik adalah alasan utama kelemahan perkembangan seni rupa di Indonesia. Begitu kritikan muncul banyak perupa yang mendadak berubah menjadi komentator, dimana mereka berkomentar bak seorang curator berpengalaman. Banyak perupa yang kecewa pada saat karyanya mendapat kritikan namun tak sedikit pula perupa yang merasa senang memberikan kritikan tanpa berfikir bagaimana jika karya yang dikritik itu adalah milik dirinya.
Harus kita akui memang secara psikologis sebuah kritik seni sangat berpengaruh besar terhadap seorang perupa. Kritikan bisa merubah pola pikir perupa untuk menjadi lebih baik dalam meningkatkan karya tetapi seorang perupa juga dapat berhenti berkarya karena sebuah kritikan. Jika seorang memasuki lingkup dunia pendidikan dia akan diajari bagaimana caranya menghargai sebuah karya dan mau menerima masukan positif dari sesama perupa maupun curator seni.

Untuk membenahi ketiga faktor tersebut perlu adanya inovasi baru dalam pendidikan seni rupa. Karena pada saat seniman karyanya memasuki dunia pasar seni rupa dia harus memiliki dunia wacana yang kuat pula agar menjadi menyeimbang. Tentu saja dunia wacana lahir dari eksistensi dunia pendidikan yang kuat pula melalui kajian-kajian yang mendalam, obyektif, dan netral dari berbagai kepentingan pragmatis pasar yang hanya mementingkan matrealisme saja. Seseorang yang sudah dibutakan dengan materi tidak bias berfikiran cermat dan dengan mudahnya bias terjatuh dalam perangkap musuh ataupun kemiskinan mendadak. Yang lebih parahnya kini hal tersebut tengah terjadi di dunia seni rupa Indonesia. Namun lain halnya jika seseorang mengenal dunia pendidikan, secara spontan otak masih mampu untuk berfikiran jernih dan mencari jalan keluar yang terbaik. Tentu saja kata-kata “seiman tidak harus kotor” berlaku dalam pendidikan seni rupa.
Mengembangkan potensi dalam belajar seni rupa tidak harus dari buku saja, seni rupa bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak imajinatif. Mengunjungi galeri-galeri seni dan belajar saling mengkritik dan bertukar pikiran dengan sesama pecinta seni bisa membantu meningkatkan pengetahuan dalam berkarya seni. Dengan begitu masa depan pendidikan seni rupa Indonesia bisa lebih mapan dan mampu disejajarkan dengan pendidikan seni rupa di luar negeri yang memang sudah tidak lagi dipandang sebelah mata.




Referensi
Mamannoor dalam bukunya Wacana Kritik Seni Rupa Indonesia
http://www.krisadjiaw.co.cc/artnews/articles/PENDIDIKAN-SEN-(RUPA)-VS-PASAR
http://www.sosbud.kompasmania.com/humaniora/sosbud/Kenapa-Dunia-Kritik-Seni-Rupa-Bisa-Mati-Suri
http://www.indonesiaachievers.com/latest-news/Pentingnya-Pendidikan-Seni-Rupa-Terhadap-Perkembangan-Otak-Anak



SHINTA DWI S. SARAGIH
10206241011
A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar