“
Belilah apa yang kau mau, nanti biar aku yang bayar!”
“
Berapa nomornya, biar aku isikan!”
“
Itu sudah menjadi hakmu, mau kau apakan juga itu urusanmu!”
“Lain
kali saja kau kembalikan, aku taka apa!”
Empat
kalimat yang membuatku tak bisa berkata “tidak”, membuatku terbiasa untuk
melakukannya berualang kali tanpa rasa bersalah dan bertanya “kenapa?”
Dan,
satu kalimat lama yang berhasil menjadi rahasia kami serta mampu membuatku berkata “TIDAK”.
Seorang
pria baik hati yang kusebut “Teman”
datang dengan sepeda motornya yang berwarna hitam. Hal yang tak biasa untuk
seorang Teman datang ke kampus saat
liburan tiba. Aku yang baru saja selesai memandu mahasiswa baru langsung
menghampirinya. Kami memang berjanji untuk bertemu sebelum dia pulang ke kampung
halaman untuk mengisi waktu liburan panjangnya.
Saat
itu, dia baru saja mengikuti kompetisi di luar Pulau Jawa, sebuah tempat indah
yang melebihi Bali namun mayoritas penduduknya adalah umat Muslim. Aku selalu bermimpi
mengunjungi tempat tersebut, namun Tuhan berkata lain. Temanlah yang akhirnya berangkat terlebih dahulu ke pulau tersebut.
Untuk mengurangi rasa sedihku, dia membawakanku sebuah cenderamata buatan pulau
cantik itu.
Cenderamata
yang diberikan padaku berbentuk bunga yang bagian tengahnya terdapat mutiara.
Sangat cantik dan unik pikirku. Kala itu aku berfikir apakah dia tulus
memberikannya padaku atau hanya terlalu baik sehingga meluangkan sedikit
waktunya untuk memikirkanku? Entahlah. Hingga saat tulisan ini dibuat, aku
tetap tak mengerti apa yang ia pikirkan.
Namun,
hiasan bunga itu tak hanya satu. Tapi dua, lalu aku bertanya padanya, “ Untuk
siapa yang satu ini?”
Dengan
malu ia menjawab, “ Untuk teman dekatmu!”
Teman
dekat? Aku berfikir sejenak, apakah sosok perempuan manis bermata tajam itu
yang ia maksud? Tentu saja, hanya dia yang sekarang dekat denganku. Rasa aneh
yang tak biasa kutemui ini membuatku sedikit geram, tanpa piki panjang aku mengembalikan
hadiah tersebut. Tindakanku mungkin berjalan terlebih dahulu dari otakku. Namu,
sungguh! Ini sangat tak enak di hati. Dengan kecewa aku berkata, “ Ambillah
semuanya, aku nggak mau memberikannya kepada Dia, lebih baik kamu berikan saja
semua untukknya”
“Tapi
kenapa? Apakah kau marah?”
Pertayaan
yang menurutku bodoh malah ia lontarkan dalam keadaan seperti ini, sambil
kembali berbalik kehadapannya aku mengulangi kata-kataku dengan lebih tegas.
“
Aku nggak marah, udah sana aku nggak jadi minta. Makasih banget udah dibawain
tapi maaf, aku nggak bisa nerima. Dan yang satu ini, kamu kasihin aja sendiri
ke dia sekalian punyaku juga!”
“
Aku nggak mau, kalau gitu semua buat kamu aja. Aku kan janji mau ngasih ke
kamu, masak kamu baliki? Pokoknya ini semua buat kamu, TITIK!”
Kalimat
terakhir itu, membuat permasalahan baru dalam hidupku hingga saat ini. Aku
terlena dengan semua kesanggupannya melakukan apapun untukku, sosok pria baik
yang ideal ini selalu membantuku memecahkan masalah yang kuhadapi. Tepatnya
masalah keuangan yang selalu menimpaku. Sedangkan aku? Sedikitpun tak pernah
membalas apapun untukknya, dan dia pun tak pernah meminta balasan apapun jika
aku tak memberikannya. Ya, sebuah hadiah sederhana yang kuberikan untukknya
ketika usianya mencapai 21 tahun.
Kini
kami sudah sama-sama dewasa, bahkan tahun depan kami dijadwalkan untuk
mengakhiri masa perkuliahan yang hampir empat tahun kami jalani. Sampai detik
ini aku tak henti-hentinya berterimakasih kepadamu Teman, seorang anak perantauan yang berani membagi separuh haknya
untuk orang lain. Semua pertengkaran di masa lalu yang membuat kita terdiam
serta kedekatan kita yang tak pernah diketahui puluhan orang ini adalah sebuah
rahasia besar yang akan selalu kusimpan. Juga perasaan aneh kala kau memberikan
dua bunga itu akan kusimpan, tak akan pernah kubagi kisah ini padamu kecuali
kita dipertemukan kelak. Ketika kita sama-sama menjadi orang yang berguna,
ketika kita hampir lupa dengan wajah satu sama lain, dan mungkin ketika takdir
memang menginginkan kita bertemu diwaktu yang akan datang untuk bersama ataupun
ketika detik-detik kita melihat satu sama lain menggunakan Toga di sebuah
tempat yang besar untuk berpamitan.
Doaku
kepada Tuhan,
Tuhan, terimakasih
karena Engkau telah mempertemukanku dengan seorang pria yang baik. Anak
perantauan yang mau berbagi dengan tulus kepadaku. Pria yang dianggap sebagian
teman menjengkelkan karena kemahirannya berbicara. Benar Tuhan, pria itulah
yang mengisi empat tahunku di masa perkuliahan menjadi berwarna. Dan jika hari
dimana kita harus berpisah karena sisa waktu yang kau berikan kepadanya akan
digunakan untuk memajukan pendidikan di daerahnya. Tolong ingatkan hambaMu ini
untuk tak lupa mengucapkan rasa terima kasih yang paling dalam kepadanya. Dan
jika memang Engkau mengijinkan, biarkanlah aku membuka sedikit perasaan lamaku
kepadanya agar dia bisa mengintipnya. Dan setelah itu biarkanlah dia memilih
apapun yang ingin dia lakukan terhadap pernyataanku tersebut.
Terima kasih Tuhan untuk
selalu mengingatkanku..
Dan, terimakasih “teman”
telah menjaga rahasia indah ini…
Yogyajarta, 13 Mei
2013
00:34 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar